"Tangisan wanita itu bukan kelemahan, Ia hanya tak bisa membohongi
dirinya sendiri lama-lama, itu karna hati wanita lebih penyayang walau
tak semua, tapi pada kenyataannya memang ada yang sebagian mengungkapkan
kebahagiaan lewat harunya air mata"
Gamang. Serasa aku kehilangan separuh jiwaku.sesuatu yang begitu
berharga dalam hidupku. Tapi, apa? Lagi-lagi rinai hujan yang turun tak
bisa berkata. Semua senyap dalam sabda alam.
Aku berada pada satu titik ‘jenuh’ dalam perjalanan hidup ini. Yah, titik jenuh
Mestikah aku berhenti sejenak. Sedang sang waktu terus mengejar tak henti. Ataukah harus aku hitung ulang jejak-jejak yang pernah ku tapak dan membuat rencana jejak selanjutnya. Atau mungkin juga peralatan perjalananku sudah tidak layak pakai. Bisa jadi sandal ini terlalu butut hingga kaki ini tidak nyaman lagi.
Ternyata, aku telah berhenti disini. Tak mampu mengingat sesuatu yang
berharga dalam hidupku. Serasa semua lengkap. Tak ada yang tertinggal.
Aku kembali menatap diriku. Wajah itu terlihat semakin kusam tak secerah
dulu, di awal perjalanan ini. Mungkinkah ini yang hilang? Cahaya
wajahku……
Kata orang, tidak ada yang tidak berubah di dunia. Semua berubah,
seperti halnya kupu-kupu. Sebelum menjadi kupu-kupu, ia hanya sebutir
telur yang menetas menjadi ulat, terus menjami kepompong. Baru setelah
itu menjadi kupu-kupu.
Semua hal di dunia ini melakukan hal yang sama, berproses. Berubah dalan setiap detik yang ia lewati. Tapi, sesungguhnya ada yang tidak berubah di dunia ini? Apa yang telah kita perbuat di detik yang telah kita lewati, itulah yang tidak berubah.
Kita tidak akan mungkin bisa mengubah kembali apa yang kita lalui. Mungkinkah itu yang hilang dari dadaku? Sebuah memori pada sebuah detik…..?
Telah kuperas otakku. Mengingat-ingat kembali, pada detik ke berapa
dari miliaran detik yang telah aku lalui, hilang dari dadaku. Ah, aku
tak sanggup menginggat detik itu.
Mungkin aaku terlalu sibuk memikirkan apa yang tidak aku dapat pada detik ini. Mestinya aku harus memikirkan rencana untuk mencapainya pada detik berikutnya. Semestinya…
Mungkin aaku terlalu sibuk memikirkan apa yang tidak aku dapat pada detik ini. Mestinya aku harus memikirkan rencana untuk mencapainya pada detik berikutnya. Semestinya…
Ah..aku ingin menjerit saja, barangkali ini akan sedikit melegakanku.
Aku semakin tak bisa membaca apa yang hilang dari diriku. Sampai pada
detik ini.
Mungkin aku harus belajar menangis . belajar menangisi sebuah
kehilangan kadang kita butuhkan. Bukan berarti cengeng, atau tidak bisa
bersikap tegar. Kadang air mata bisa menyelesaikan masalah. Namun, aku
lupa kapan aku terakhir menangis? Atau mungkin ini yang hilang dari
dadaku. Aneh, tiba-tiba ingin sekali menangis….
Tapi, aku tak bisa, serasa mata ini membatu, retina ini membeku. Tak luncur jua bulir-bulir kristal itu.
Mengapa? Mengapa aku tak bisa menangis?
Tapi, aku tak bisa, serasa mata ini membatu, retina ini membeku. Tak luncur jua bulir-bulir kristal itu.
Mengapa? Mengapa aku tak bisa menangis?
Mungkin mata ini telah mati. Sehingga tidak ada lagi air yang bisa ia
alirkan. Bisa jadi sumurnya telah kering kerontang. Kemarau itu terlalu
panjang melanda ladang hatiku.
Seingatku, hujan turun lebat akhir-akhir ini. Gerimis acapkali meluncumkan poriku. Apa mungkin tetes-tetes air itu hanya mengalir, tak pernah terpendam dalam pori-poriku. Tak adakah sebatang akar pun yang mampu mengikat setetes pun dari ribuan rinai yang jatuh?
Inikah yang hilang dari dadaku?
Ah, aku lelah memikirkannya. Aku tak bisa menemukan sesuatu berharga yang telah hilang dari dadaku. Aku ingin berhenti memikirkannya. Aku ingin berhenti dan membiarkan saja yang hilang itu, hilang. Mungkin ia harus hilang……….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar